Kamis, 14 Desember 2017

Kopi Kapal Api Punya Cerita, Ada Kehangatan di Secangkir Kopi Ayahku



Pagi ini aku terbangun dengan enggan sebab udara dingin masih terasa mengulitiku, karena hujan yang lagi-lagi jatuh tanpa henti semalaman. Aah, rasanya aku ingin tetap bermanja-manja di ranjang ini sekarang. Seperti itulah yang kupikirkan pagi tadi.

Namun bersama dengan suara gerimis yang masih samar-samar terdengar,  tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang menggelitik indera penciumanku. Hmm, aroma khas yang begitu harum itu kuhirup dengan penuh penghayatan seakan aku memang sudah terbiasa dengan aroma tersebut. Ya itu benar. Aku memang hafal sekali dengan aroma khas yang ternyata berasal dari seduhan kopi itu. Kalian tahu kenapa? Karena setiap hari di saat pagi maupun senja hari, aroma tersebut selalu hadir merasuki indera penciumanku tanpa pernah permisi. 

Selalu ada cerita di dalam secangkir kopi. Sepahit apapun itu, kopi tetaplah kopi yang bisa dinikmati dengan semanis mungkin.

- ig : @dandelion_gie -
Bersama dengan suara gerimis yang masih samar-samar terdengar dan aroma kopi yang masih betah menggelitik hidungku, aku tersenyum sembari mengubah posisiku yang tadinya tiduran menjadi posisi duduk dengan kaki selonjor. Entah apa yang sedang kupikirkan barusan. Tiba-tiba saja aku sudah tenggelam ke dalam ingatan berharga yang tak pernah aku lupakan sampai sekarang. Sebuah ingatan yang mengantarkanku pada satu kisah hidupku di masa lalu. Aku masih ingat hari itu tepat tanggal 10 November 2015, aku melakukan sebuah perjalanan yang luar biasa bersama dengan ayahku. Semua berawal dari salah satu pesan masuk di emailku yang mengatakan bahwa aku lolos tes kerja dan besok sore diharapkan bisa mengikuti tahap selanjutnya yaitu tahap interview di salah satu perusahaan startup yang ada di Yogyakarta. Malam itu aku terkejut karena tidak pernah menyangka kalau pengumuman yang kudapat bakal secepat itu, sedangkan aku baru sampai rumah saat itu juga setelah seharian melakukan perjalanan Cilacap-Jogja-Cilacap bersama dengan ayahku menggunakan sepeda motor untuk melaksanakan tes kerja tersebut. Dengan lelah yang masih terasa di tubuh ini, aku dan ayahku melakukan perjalanan itu lagi keesokan harinya. Namun kondisi semesta saat itu benar-benar diluar dugaan. Hujan terus jatuh menemani setiap perjalanan kami dari Cilacap hingga sampai di Jogja tanpa henti. Dengan perasaan yang sudah tak karuan, aku mengikuti tahap interview di senja hari itu dengan pasrah. Benar saja, sepertinya takdir tidak berpihak padaku saat itu. Aku pun gagal.
 
Saat itu juga, aku memang merasa kecewa banget. Hatiku seakan hancur seketika bersama dengan harapanku yang runtuh tak bersisa lagi. Pikiranku kalut. Dengan langkah kaki yang berat, aku berusaha untuk tetap berjalan santai saat keluar dari kantor itu. Kubenahi suasana hati dan raut wajahku saat aku berhadapan dengan sosok hebat yang sedang berdiri menungguku itu. Ayah, maaf. Hanya kata itu yang akhirnya keluar dari mulutku saat menatap matanya. Aku benar-benar blank dan sudah tak tahu lagi harus bersikap bagaimana lagi di hadapannya. Apalagi saat ayah membalas ucapanku itu dengan kata tidak apa-apa sembari tersenyum, aku benar-benar merasa ada sesuatu yang begitu tajam menusuk hatiku. 

Hujan deras masih begitu setia menemani perjalanan kami. Senja yang katanya indah itu pun berubah menjadi kelabu dan berkabut. Di atas sepeda motor tua itu, aku terdiam menahan sesak yang seharian sudah mengacaukan pikiranku. Sesekali hujan juga menyamarkan airmataku yang diam-diam jatuh membasahi pipi itu. Hari sudah semakin petang dan hujan masih begitu deras terasa membebani perjalananku bersama ayah hari itu. Namun belum seberapa jauh kami beranjak dari kantor itu, ayah sudah minta berhenti sejenak di pom bensin karena ingin buang air kecil. Setelah beberapa lama, ayah pun keluar dari toilet dan siap untuk melanjutkan perjalanan kami lagi. Tetapi apa yang terjadi? Sial, tiba-tiba saja motor ayah tidak bisa dinyalakan sama sekali. Seakan membeku, motor tua itu tidak bisa digerakan stangnya dan mesinnya pun tidak mau menyala lagi. Dengan susah payah di tengah hujan yang masih deras, ayah berusaha sekeras mungkin untuk mendorong motor tuanya itu dan mencari bengkel terdekat dari sana. Sebenarnya aku ingin membantu mendorong motor tuanya itu, tetapi ayah bersikeras menyuruhku untuk tetap duduk di jok motor saat ia mendorongnya. Awalnya aku memang menurutinya, tetapi karena aku tidak tega melihat ayah kesusahan seperti itu, aku pun akhirnya meminta turun dari jok dan ikut mendorong motor tua itu dari belakangnya. Ternyata bengkel terletak jauh juga dari tempat pemberhentian kami yang terakhir. Akhirnya kami menemukan bengkel tersebut dan beristirahat sejenak dari kepenatan yang kami rasakan saat itu.

Setelah hampir satu jam berlalu, motor tua ayahku itu akhirnya selesai dibenarkan dan kondisi kami berdua pun sudah lebih baik. Perjalanan panjang kami masih berlanjut dengan hujan yang tak pernah bosan menemani hari itu. Menit demi menit berlalu dan hari pun sudah benar-benar petang sekarang. 

“Mampir beli bakso dulu yuk,” ajak ayah padaku. Aku hanya mengangguk menanggapi ajakannya itu. 

Posisi kami saat berhenti di sebuah warung bakso itu adalah di Bantul, Yogyakarta. Huuft, rupanya perjalanan kami masih panjang dan lama. Kubuka jas hujan yang tak pernah kering seharian itu saat aku memasuki warung tersebut. Ayah memesan satu mangkuk mie ayam campur bakso untuknya dan satu mangkuk mie ayam untukku. Namun ada satu hal yang tidak berubah. Ya, ayah tidak pernah lupa untuk memesan secangkir kopi kapal api untuknya. Aku heran dengan ayah yang begitu menyukai kopi itu dari dulu. Maklum saja selama tiga tahun aku merantau, aku tak pernah minum kopi sekalipun karena kondisi lambungku yang tak memungkinkan. Aroma kopi kapal api yang khas itu tercium tepat di hadapanku saat kopi pesanan ayah sudah ada di meja kami. Tanpa basa-basi, aku pun bertanya kepada ayah perihal kecintaannya akan kopi tersebut. Kata ayah, "Kopi Kapal Api" itu "jelas lebih enak"rasanya dibanding kopi kemasan lain yang pernah ia cicipi. Menurut ayah, kopi kapal api tuh terasa banget kopinya dan aromanya saat diseduh juga harum kopi banget. Makanya karena alasan itulah ayah begitu menyukainya. 

Tak selamanya yang hitam itu buruk dan yang pahit itu selalu dibenci, karena lihatlah sang kopi yang begitu dicintai oleh kebanyakan orang meski ia hitam dan pahit sekalipun.

- ig : @dandelion_gie -

Saat itu aku disuruh mencicipi kopinya kalau tidak percaya. Awalnya aku ragu karena takut sakit perut setelah mencicipinya seperti waktu terakhir kalinya aku meminum kopi beberapa tahun lalu. Tetapi rasa penasaranku rupanya jauh lebih besar dibandingkan rasa takutku itu. Akhirnya aku meneguk sedikit kopi itu. Benar saja, ada perasaan hangat yang menenangkan perlahan mengalir masuk ke dalam tubuhku seakan menetralkan semua perasaan kacauku seharian itu. Entah kenapa tiba-tiba saja aku tersenyum. Rasanya semua beban yang aku rasakan saat itu mulai luruh bersama mengalirnya kopi yang kuminum seteguk itu. Benar-benar menghangatkan dan menenangkan seperti cinta ayah untukku selama ini. Sejak kejadian hari itu, aku merasa bersyukur karena memiliki sosok pahlawan yang luar biasa seperti ayahku dan sejak hari itu juga aku jadi suka minum kopi sekarang. Kopi kapal api dong pastinya. 


ig : @damarastavarauyee dan @dandelion_gie

Sekarang bersama dengan suara gerimis yang  samar-samar sudah tak terdengar lagi dan aroma kopi yang tadi sudah mulai lenyap dari hidungku, aku pun mulai tersadar kembali dari lamunanku. Dengan senyuman yang tampak jelas di wajahku, aku pun akhirnya beranjak dari ranjangku yang nyaman ini dan bergegas untuk menikmati secangkir Kopi Kapal Api ku sembari melakukan aktifitasku hari ini. Selesai.

Begitulah ceritaku, lalu bagaimana dengan ceritamu? yuk tuliskan cerita menarik dan serumu bersama #KapalApiPunyaCerita.
Karena aku yakin kalau ceritamu tidak kalah serunya dengan ceritaku. 😎😄

Baiklah sampai disini dulu ya...
Terima kasih buat teman-teman yang sudah bersedia mampir untuk membaca ceritaku ini dan maaf kalau ada kesalahan penulisan dalam bercerita.
Sampai jumpa di ceritaku berikutnya, Bye...