Rabu, 26 September 2018

Ada Kenangan di Balik Rintik Hujan




Apa yang kalian pikirkan tentang kenangan? Apa yang kalian rasakan saat tiba-tiba saja kenangan yang sudah susah payah kalian lupakan, lalu kembali terbayang hanya karena hujan turun menyapa hari kalian?

Aaah, terkadang kenangan memang sejahat itu. Entah karena alasan apa, ia begitu berani menjelma menjadi rintik hujan yang jatuh ke bumi secara terang-terangan. Seegois itukah kenangan menginginkan dirinya untuk kembali eksis ke dalam ingatan seseorang? Dan Tak sadarkah ia kalau ternyata kehadirannya selalu membawa resah yang menyesakkan bagi orang yang mengingatnya?

Namun kenangan tetaplah kenangan yang bisa datang sesuka hati tanpa diharapkan. Meski hujan tak kunjung menyapaku, nyatanya kenangan tetap bisa mengganggu pikiranku kapanpun yang ia mau. Entah apa yang terjadi, aku seakan terjebak dalam ruangan yang biasa disebut dengan 'Nostalgia' itu selama seminggu ini. Melihat kembali kenangan-kenangan lama yang terpampang lucu dalam potret gambar di dalam memori laptopku. Satu per satu kenangan itu mulai bermunculan dalam kepalaku. Ada senyum, tawa, haru, kesedihan, hingga menimbulkan sebuah rasa 'Rindu' dalam hatiku tanpa sadar.

Ya, diam-diam aku rindu semuanya. Rindu masa lalu dan rindu hujan tentunya. Apalagi beberapa hari yang lalu, aku tak sengaja menemukan candu baru berjudul "Hujan Di Balik Jendela". Lagu milik Senandung yang baru dirilis 11 Februari 2018 ini seakan melengkapi suasana hatiku saat ini. Suasana hati yang sendu sebab rindu akan kenangan-kenangan tempo dulu. Rasanya aku jadi enggan mengungkapkan apa yang aku rasa, karena lagu "Hujan Di Balik Jendela" ini benar-benar sudah mewakili semua rasa yang ada.

Wah, jadi enggak kebayang gimana nikmatnya kalau pas lagi dengerin lagu ini malam-malam, aku sedang duduk termenung ditemani oleh secangkir kopi hangat, membayangkan setiap kenangan yang ada dan tak ketinggalan suara deru rintik hujan yang meriuhkan itu samar-samar terdengar di luar rumah. Astaga, benar-benar 'Nostalgia' yang menenangkan dan sempurna nih namanya. 

Penasaran sama lagunya?

Yuk, kita dengarkan sama-sama.



Biar lebIh jelas, berikut liriknya :

“Hujan Di Balik Jendela” 
by : Senandung 
Muram, langit malam ini 
Berjatuhan ribuan kenangan 

Huuuu.. Huuuu.. 

Malam, seketika bisu 
Bertaburan aroma tubuhmu 
Jendela berembun, kamu ada 
Tak berkedip, mata berbisik 
Isyaratkan rindu yang dalam kepadamu 
Aku tenggelam, bersama hujan 
Kan berlabuh di tepi ruang tak berujung 
Huuuu.. Huuuu..Huuuu.. Huuuu.. 
Jendela berembun, kamu ada
Tak berkedip, mata berbisik 
Isyaratkan rindu yang dalam kepadamu 
Aku tenggelam, bersama hujan 
Kan berlabuh di tepi ruang tak berujung 
Hujan membawa, pesan yang dalam 
Jangan cepat-cepat reda 
Tak berkedip, mata berbisik 
Isyaratkan rindu yang dalam kepadamu 
Aku tenggelam, bersama hujan 
Kan berlabuh di tepi ruang tak berujung 
Huuuu.. Huuuu..Huuuu.. Huuuu..


Bagaimana menurut teman-teman setelah mendengarkan lagu di atas? Semoga bisa menyentuh hati kalian semua yaaaa....

Selamat mendengarkan dan Selamat menikmati 'Rindu' yang tiba-tiba datang menjelma jadi bayang-bayang semalam, hehehe...

Kalian juga bisa berbagi kisah tentang "Hujan" atau lagu kenangan kalian kesini kok, di kolom komentar tentunya. Kita bakal diskusi  santai sama-sama, yuuuuuk....

Terima kasih dan Selamat Malam,

Selasa, 25 September 2018

Inginku Bertualang Demi Rasa Rindu Akan Pulang






Lima tahun lalu, aku hidup merantau jauh dari kedua orang tuaku demi melanjutkan pendidikanku di Kota Purwokerto yang jaraknya bisa ditempuh kurang lebih 1-2 jam saja dari kota asalku. 

Saat itu lebih tepatnya selama tiga tahun, entah kenapa menjadi masa-masa hidupku yang menyenangkan dan penuh dengan warna. Merah, Kuning, Hijau, Biru, bahkan Kelabu sekalipun begitu seru untuk kunikmati setiap harinya. Aktifitas kuliah yang padat, pergi bersenang-senang bersama teman atau sahabat, dan menikmati waktu-waktu seperti apa yang kuinginkan selama berada disana dengan berbagai petualangan.

Ya, itu benar.

Hidup jauh dari rumah rupanya telah memberikanku kebebasan tanpa ada kekangan. Bak Singa sirkus yang dilepas bebas ke alam liar, aku begitu asyik menikmati semua kebebasan yang kupunya bersama para kawanannya. Jangankan ingat pulang, untuk menanyai kabar soal keadaan keluargaku di kota sebelah saja aku sering kelupaan. Bahkan tak jarang pula aku akan merasa jengah jika sudah ditanya 'kapan pulang' oleh mereka. Hal itu tentu yang  membuatku gemar mencari alasan untuk menunda kepulangan. Begitulah faktanya sampai aku tak menyadari tentang sudah berapa banyak hal yang dialami keluargaku di rumah yang  kulewati begitu saja.



Benteng Pendem Cilacap, 2013 lalu


Hingga akhirnya waktu kepulangan pun tiba. Dua tahun lalu, aku benar-benar pulang ke rumah dikarenakan tanggung jawabku sebagai Mahasiswi sudah selesai di kota itu. Awalnya sih biasa saja, karena aku pikir bakal singgah di rumah cuma sementara sampai aku berhasil mendapat pekerjaan dan memulai petualanganku lagi. Tetapi takdir rupanya belum memihakku selama dua tahun ini. Kenyataanku akhirnya tak pernah sama seperti khayalan yang kuciptakan sendiri. Rumah yang dulu selalu aku abaikan, sekarang menjelma menjadi tempat paling nyaman untukku berdiam diri. Apakah ini karma untukku? Atau emang ada sesuatu hal yang membuatku jadi begitu. Entahlah, mungkin saja.




Puncak Sikunir, Agustus 2014


Namun satu hal yang aku tahu adalah waktu tak terasa sudah berlalu secepat ini dan sekarang aku mulai mencemaskan semuanya. Sedih, iya. Rindu? Itu pasti. Rasanya diriku ini sudah mulai menunjukan kejenuhannya pada rumah yang kusinggahi. Ya, aku jenuh dengan ke-monoton-an yang kujalani setiap harinya. Hidupku yang sebelumnya berwarna, kini hanya dipenuhi oleh Kelabu dan Hitam saja. Lantas kapan? Kapan lagi aku bisa bertualang? Kapan lagi aku bisa menemukan warna baru untuk kehidupanku? 

Jujur, aku merindukan semua itu. Aku rindu ingin merasakan resah yang menggila karena membayangkan betapa riuhnya suasana rumah, betapa nikmatnya masakan yang ibu buat, dan betapa senangnya bermanja pada ayah lagi setiap kali rasa lelah menyerangku diam-diam. Ya, aku benar-benar rindu bertualang dan berharap dalam waktu dekat ini aku diberi kesempatan untuk melakukan petualanganku lagi. Jika itu terjadi, maka takkan kubiarkan diriku terlena hingga membuatku malas untuk pulang karena aku tak ingin kehilangan hal-hal berharga saat aku bertualang nanti.

Itu benar.

Rumah akan jadi satu-satunya tempatku pulang dan mereka (Ayah, Ibu, dan Adikku) akan menjadi satu-satunya alasan untukku pulang dengan penuh kesenangan.


Aku ingin bertualang sekali lagi agar aku kembali mengerti betapa berarti dan nyamannya pulang ke rumah. 

- Dandelion Gie -




Minggu, 23 September 2018

Gagal Sekali Lagi, Ya Coba Lagi

Gagal lagi. 
Lagi-lagi gagal. 
Sekali lagi gagal. 

Entahlah. 

Rasanya aku sudah mulai jengah dengan kata-kata di atas akibat terlalu sering aku mengecapnya selama 2 tahun ini. Lelah? Itu pasti. Ingin menyerah? Kadang. Tak hanya sampai disitu saja, aku bahkan pernah benar-benar berhenti berjuang karena saking lelah dan bosannya. Aku payah, kan.


Gagal sekali lagi itu tandanya aku harus berjuang lebih keras lagi berkali-kali.
- Dandelion Gie -

Oke, aku memang payah. Meskipun kenyataannya saat aku menyerah dan berhenti berjuang, aku justru jauh lebih frustasi akibat terlalu jadi pemikir yang kebingungan. Berusaha mencari cara untuk membuatku kembali mengulang langkah awal lagi dan membenahinya. Ya, di saat-saat itulah aku betah tenggelam dengan kesendirian, bertanya pada hati dengan harapan kan kutemui solusi terbaik. Intropeksi diri,memang sungguh melelahkan. Jangan tanya kenapa, karena aku pun belum menemukan jawaban yang tepat.

Itu benar. 
Untuk sekarang.....

Aku memang gagal,
Lagi-lagi gagal,
Sekali lagi gagal,
Coba lagi,
Sekali lagi,
Sekali lagi,
Coba sekali lagi,
Berjuang lagi dan lagi,

Lalu nanti......

Menang sekali,
Menang sekali lagi,
Lagi-lagi menang,
Menang berkali-kali,
Hingga akhirnya tak ada kata 'Gagal sekali lagi dan lagi'.

Semoga, amin.
Selamat berjuang, temaaan.....

Sabtu, 22 September 2018

Puisi : Tanyaku Pada Sang Angin

Dulu aku pernah ingin menjadi angin. Bahkan keinginan itu masih diam-diam menghuni hati kecilku, khususnya malam ini. Entahlah. Mungkin saja karena udara malam ini  rasanya begitu sejuk tidak seperti malam biasanya, jadi seketika membuatku rindu dengan beberapa kenangan di masa lalu. Sebuah kenangan yang membawaku kembali ke masa dimana aku sangat mengagumi sang angin di dalam hatiku. Alasannya? Hmm, aku juga tidak tahu.

Wisata Gunung
Selok, Adipala, Cilacap


Dan di kesempatan kali ini, aku mau berbagi salah satu puisiku nih. Puisi di bawah ini termasuk puisi lawas yang belum pernah aku share dimanapun lho. Kalau dilihat dari tanggal yang tertera disana, berarti aku menulisnya saat aku tengah menikmati semester 2 dari masa perkuliahanku. Saat itu aku sedang merasa bimbang yang cukup meresahkan pikiran dan hatiku. Seperti ada banyak tanya dalam kepalaku, tetapi tidak kudapati satu jawaban pun yang mampu meringankan konflik batinku itu. Karena merasa tertekan, makanya kutulislah puisi berikut seakan-akan aku sedang mengeluhkan keresahanku pada 'Sang Angin’.



Tanyaku Pada Sang Angin

Anginku...
Dapatkah kau mengeja setiap abjad dalam hidupku?
Sanggupkah kau menghitung seberapa banyak kata yang tercipta dalam catatan hidupku?
Mampukah kau menerawang setiap warna yang tergambar pada pesona hariku?
Takkan pernah aku tahu,
Dan kau pun tak mampu melakukan itu.

Karena apa?
Karena kau hanyalah angin,
Yang hadir untuk menghapus setiap abjad, kata, dan warnaku yang telah usang...
Membawa mereka pergi dan berlalu seiring hidupku dalam ikatan waktu,
Karena kau hanyalah angin,
Yang berbisik lewat gemuruh keanggunanmu pada rerumputan itu..
Dan karena kau hanyalah angin,
Yang merasuki jiwaku dengan belaian lembut sapaanmu...
Menyejukanku dari setiap luka yang membekas dalam hati...
Sebab kau hanyalah angin,
Yang tak berwujud, namun keberadaanmu sungguh terasa dalam setiap hembusan nafasku...

By: Dandelion Gie
“Bersama Angin, 20 Juli 2013”



Aku bertanya, “Apakah ia bisa menebak apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku? Lalu sejauh manakah ia ingat tentang cerita hidup yang pernah aku lewati? Dan apakah ia mengerti tentang arti dari perasaan yang muncul tak jelas dalam hatiku saat itu?”

Aku saja bingung, apalagi dia…

Pikirku di dua kalimat di baris terakhir pada bait pertama itu.

Aku terdiam cukup lama lalu kupejamkan mataku demi mendapatkan ketenangan yang aku inginkan. Benar saja beberapa detik kemudian, aku merasakan lagi desiran-desiran lembut mulai menyapa tubuhku dan pelan-pelan menghapus semua keresahan yang beberapa waktu sebelumnya meracuni hatiku. Apalagi kalau bukan karena 'Sang Angin’ yang berhembus sejuk di sekitarku seakan-akan ia mendengarkan semua keluhanku. Meskipun ia tak mampu memberikan jawaban sebagai solusi, tetapi setidaknya ia tahu bagaimana cara menenangkan dan menghibur hati kecilku.

Dulu dan sekarang. 'Sang Angin' tetaplah sama. :)